Francis Lawrence (Constantine, I Am Legend) memberikan standar yang cukup tinggi untuk film yang diangkat dari novel young adult dalam adaptasinya dari bagian kedua seri The Hunger Games karya Suzanne Collins, Catching Fire. Tidak hanya dibekali cerita yang jauh lebih menarik, akan tetapi juga memiliki dinamika yang lebih hidup dan intens.
The Hunger Games: Catching Fire, demikian judul lengkap filmnya, melanjutkan kisah para pemenang Hunger Game ke-74, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson), yang melakukan tur kemenangan mengelilingi distrik-distrik yang terdapat di negara dystopia, Panem. Sayangnya, bagi Presiden Snow (Donald Sutherland) Katniss adalah ancaman terhadap stabilitas status quo Panem, karena dianggap sebagai simbol resistensi.
Atas saran Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), pimpinan Gamekeeper terbaru, pada ajang Hunger Game ke-75 diputuskan untuk mengadu semua pemenang Hunger Games. Tujuannya adalah untuk meredam semangat “kemenangan” mereka, sekaligus melenyapkan Katniss. Tentu saja para calon peserta termasuk Haymitch Abernathy (Woody Harrelson), mentor Katniss dan Peeta, sebagai salah satu pemenang Hunger Games sebelumnya.
The Hunger Games: Catching Fire masih memiliki durasi yang cukup panjang, 146 menit, yang disebabkan karena film masih menginginkan untuk meliput banyak hal yang terdapat dalam novelnya. Meski demikian, film cukup bijak dengan tidak lagi menyertakan Collins untuk menulis skenario, melainkan melibatkan nama-nama penulis yang berpengalaman seperti Simon Beaufoy (127 Hours, Slumdog Millionaire) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3), sehingga plot yang disusun kali ini hadir dengan lebih tepat guna dan efektif.
The Hunger Games: Catching Fire dibangun dengan secara perlahan. Paruh pertama disusun berdasarkan drama yang lebih banyak berisi dialog. Menjadi penting karena tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan alur cerita tapi juga karakterisasi serta bangunan emosi. Hubungan antara Katniss dengan kekasihnya, Gale Hawthorne (Liam Hemsworth) serta hadirnya Peeta di tengah mereka, menjadi semakin semarak. Tidak hanya itu, film cukup berhasil menggali karakter-karakter sketsa yang dulu mungkin hadir sebagai latar saja seperti Effie Trinket (Elizabeth Banks) dan Cinna (Lenny Kravitz). Mereka memiliki porsi yang terbatas akan tetapi diberi ruang untuk hadir dengan lebih humanis dan tiga dimensi.
Saat adegan laga mulai berperan lebih besar, film berganti gigi dan melaju dengan lebih cepat. Francis Lawrence sudah cukup berpengalaman tentu saja dengan adegan-adegan yang mengandalkan intensitas dan ketegangan, akan tetapi dalam The Hunger Games: Catching Fire ia tampil dengan jauh lebih gemilang dari biasanya. Adegan laga dieksekusi dengan presisi yang tepat dan mendebarkan. Kita sekarang bisa merasakan bahaya dan juga adrenalin yang terdapat dalam Hunger Games tersebut.
Hadirnya karakter-karakter baru yang terlibat dalam Hunger Games, seperti Finnick Odair (Sam Claflin), Johanna Mason (Jena Malone) atau Beetee (Jefrey Wright) tidak membuat The Hunger Games: Catching Fire serasa sesak, melainkan memperkaya dinamikanya. Sosok-sosok baru ini memberi warna tersendiri dan mempertajam esensi cerita, meski harus diakui masih memiliki keterbatasan dalam aspek pengembangan karakter.
Selain sukses sebagai thriller-petualangan, kelebihan The Hunger Games: Catching Firedibandingkan film sebelumnya atau film young adult lainnya adalah porsi romansa yang tidak dibiarkan mencuri perhatian secara berlebih. Yang lebih menarik lagi, The Hunger Games: Catching Fire tanggap dalam mengangkat aspek sosio-politis yang terkandung dalam novelnya secara lebih tebal tanpa harus terkesan pretensius.
Sebagai film berseting dystopia, ini menjadi penting. Kisah yang diusung pada dasarnya menangkap fenomena yang tengah terjadi di masa kita dan kemudian memantulkannya sebagai sebuah kritisi dalam balutan fiksi. Lihat bagaimana masyarakat begitu memuja-muja selebritas dan menjadikan mereka sebagai tontonan untuk mengalihkan dari berbagai permasalahan hidup. Paling tidak, saat ini kita tidak berniat mengadu para selebriti pujaan dalam pertandingan maut untuk melihat siapa yang paling mencorong kualitas bintangnya. The Hunger Games: Catching Fire bisa juga dilihat sebagai kritisi terhadap otorita pemerintahan yang absolut tanpa ruang bagi individu untuk dapat menjadi bagian yang utuh dari sebuah negara.
The Hunger Games: Catching Fire beruntung didukung oleh barisan pemain yang solid, terutama Jennifer Lawrence sebagai pimpinan ensemble cast-nya. Mungkin ia sudah mengantungi sebuah Oscar, akan tetapi pada dasarnya Jennifer memang seorang aktris watak jempolan. Rasanya film sulit untuk berhasil jika tidak dipimpin oleh determinasi Jennifer yang kuat sebagai Katniss Everdeen. Ia mampu hadir sebagai karakter yang simpatik dan karismatis tanpa harus terjatuh menjadi pribadi yang superior. Oleh Jennifer, Katniss Everdeen dihadirkan sebagai sosok yang masih memiliki sisi manusiawi yang lekat. Dan ini membuat kita, penonton, bisa merasa dekat dengan dirinya.
Jadi, ya, The Hunger Games: Catching Fire adalah film yang cukup memuaskan. Ia mengembalikan kepercayaan kita kepada film young adult yang berkualitas sekaligus memberi pondasi yang kuat untuk kelanjutan kisahnya.
<<- Spesial Thanks ->>
0 Comments